Cinta di Ujung Asa

 “Setelah membaca ini, aku langsung berpikir… sialan! Kalau gak kenal dekat dengan penulisnya dan belum pernah membaca karya2nya, aku pasti mengira kisah ini nyata!” ucap seorang teman pria penuh semangat dan percaya diri. Pendapat itu sesaat membuatku tertegun. Sebelumnya, kupikir dia akan memberi saran, kritik atau sebuah pujian standar. Ternyata…

Kurasa kemudian keningku berkerut dan sebuah senyum merekah di bibirku. Sang teman menatapku dengan pandangan menyelidik dan… ragu. “Eee… ini kisah nyata?! Beneran terjadi?! Ini kisah kamu?” sikapnya yang tiba-tiba gamang membuat sisi jahilku merangsek muncul. Jadi, jawabanku adalah suara tawaku yang tertahan-nyaris terbahak. 

Mengingat kejadian itu tiba2 aku jadi terdorong untuk mengetahui pendapat lain mengenai kisah dalam cerpen ini. Kisah nyata atau hanya imajinasi? 

Hmm… hanya karena aku tersenyum senang saat mendapatkan sisi jahilku mendominasi, bukan berarti aku berkepribadian buruk kan? Hidup pasti lebih menyenangkan jika disambut dengan keceriaan. Mari tersenyum….


                  CINTA DI UJUNG ASA

                   Oleh : Lala Suhaila


        Yang kuingat tentang kamu… kau yang menatapku terkejut, kedua bibirmu bergerak seakan ingin mengucapkan sesuatu, sementara ekspresi wajahmu terlalu sulit untuk dilukiskan. Yang terlalu sering membayangi ingatanku, adalah kau yang berbalik meninggalkanku tanpa kata-kata. Dan yang tidak kunjung berhenti menghantui hari-hariku adalah bayangan kepergianmu dengan uraian air mata-yang tak berhasil kau bending- sebelum tikungan yang melenyapkanmu dari pandangan mataku waktu itu. 

       Yang kuingat tentang kamu… kau yang duduk resah di kursi belakang, sekuat tenaga menyelamatkan harga dirimu dari tatapan -sembunyi-sembunyi- teman-teman sekelas. Yang tak pernah berhasil kulenyapkan dari benakku, kau yang menutupi sebagian wajahmu dengan kerudung, berjalan tertunduk dan tergesa meninggalkan kelas. Dan… air matamu yang menetes jatuh, persis di ambang pintu.

        Sejujurnya, aku mengingat semua -setiap detail tentang kamu, dan tentang kita. Hanya kita berdua yang duduk di satu kelas yang sama selama 3 tahun. Kelas IB, IIA dan IIIC. Tentang perasaanmu padaku. Dan tentang perasaanku padamu. 

         Dulu, tentu saja aku senang melakukannya. Karena kau memang pantas mendapatkannya. Tapi, hampir satu tahun setelah itu -setelah kepindahanmu- aku bukan lagi cowok ABG yang sama. Aku menyadari kekejamanku terhadapmu. Saat kesadaran perlahan menjelma menjadi perasaan bersalah… tiba-tiba ia tampak seperti tombak yang menghujam jantungku. Kau tahu? Rasa sakitnya menyertaiku selama hampir separuh hidupku. Sungguhkah seperti yang mereka katakan? Bahwa kepindahanmu dari Ma’had, sebab tragedi yang kuciptakan? Dan kau tak sanggup menanggung beban pskologisnya -Kulempar bangkai ke wajahmu. Kau tidak cukup gesit untuk menghindar, juga terlalu shock untuk segera bertindak membersihkan. Maka, kau berjalan dengan aroma tak sedap. Sejak itu, mereka menatapmu dengan pandangan berbeda.

          Aku mencarimu, terus mencarimu  sejak kesadaran itu menghampiriku. Kau tidak pernah datang ke reuni yang sudah beberapakali diselenggarakan. Dan tidak ada teman yang bisa memberikan info berarti mengenai dirimu. Kau seakan tenggelam ke dasar bumi, sampai keajaiban teknologi hadir di tengah kehidupan. Meski yang kau tuliskan dalam profilmu, hanya sedikit info. Terlalu sedikit; Nama lengkap, tempat tanggal lahir dan email. Tanpa foto! Asumsiku, kehati-hatianmu dengan menuliskan sedikit tentang profilmu, sebab kau tidak ingin aku temukan. Syukurlah, saat berhasil menghubungimu langsung lewat ponsel, suaramu adalah kau yang dulu; riang, lucu dan cenderung manja. Kau terdengar senang kita akan bertemu. Kuakui aku sangat senang. Terutama sekali sebab informasi terakhir yang berhasil kudapat dari kakakmu -kau belum menikah dan tidak sedang menjalin hubungan istimewa dengan siapapun.

        Aku pasti terlalu bersemangat hingga datang lebih awal ke sebuah restoran yang sudah kita sepakati sebagai tempat pertemuan. Aku ingin melihatmu berjalan masuk, mendapati perubahan-perubahan dirimu sebelum kau mendapati perubahan-perubahanku. Diam-diam, aku menyadari telah berjalan sambil tersenyum sebab membayangkan ekspresi wajahmu saat melihatku untuk pertamakalinya setelah 15 tahun!

        Banyak hal yang terjadi tidak persis seperti yang aku bayangkan. Yang ini, menjadi contoh awal. Bukan aku yang duduk di salah satu kursi restoran menghadap pintu masuk. Dan bukan kau yang berjalan masuk melewati pintu kaca tebal restoran. Yang terjadi adalah sebaliknya. Sebelum benar-benar masuk, aku sudah melihatmu duduk menghadap pintu masuk. Di hadapanmu tampak seorang pria yang tak bisa kulihat wajahnya. 

       Aku langsung bisa mengenalimu, tapi terpaksa kuurungkan niat untuk langsung menyapamu, sebab, meski kuyakin kau sempat melihat kedatanganku, kau tidak menunjukkan tanda-tanda mengenaliku. Tentu saja aku agak kecewa, meski tidak memengaruhi kebahagiaanku yang terlalu besar. Kuputuskan duduk di salah satu kursi restoran dan menunggumu. 

        Lima menit sebelum waktu pertemuan kita kuputuskan mengingatkanmu melalui sms. Kau memjawab, Aku sudah di tempat. 

         Kulihat lelaki di hadapanmu memasukkan laptopya, lalu kau berdiri diikuti lelaki itu. Kalian berjabat tangan sambil mengulas senyum ramah. Dan lelaki –sekarang bisa kulihat- tampan itu pergi meninggalkanmu, berjalan keluar restoran.

        Aku melambaikan tangan ke arahmu. Kau memandangku heran, lalu terkejut, kemudian tersenyum senang dan beranjak menghampiriku.

        “Sejak awal, aku sudah nggak yakin masih bisa mengenali kamu,” ucapmu setelah berada tepat di hadapanku dan menyalamiku.

        “Hmm! Padahal aku bahkan bisa mengenalimu dari jarak ratusan meter,” balasku pura-pura kecewa, tapi senyumku segera mengembang.

        “Tidak banyak yang bisa kuingat. Sudah lama sekali.”

        “Tapi kau langsung ingat siapa aku waktu pertamakali kuhubungi.”

        “Kamu sebut nama.”

        “Dan namaku termasuk dari sedikit yang bisa kau ingat?”

        “Kamu menciptakan dua tragedi dalam hidupku. Mana mungkin bisa lupa?”

       “Maaf….”

       “Hhh.... Jangan mulai!”

       Kau tidak mengingat apapun tentang kita kecuali dua tragedi yang kuciptakan untukmu, membuatku yakin, bahwa apa yang telah kulakukan padamu adalah hal terburuk yang pernah kau alami sepanjang hidupmu. Kau bilang, “Jangan mulai!” Kau semakin membuatku yakin.

        Berkali-kali kau memintaku untuk menghindar dari obrolan mengenai kejadian belasan tahun lalu itu. Tapi, betapapun kita berusaha menghindarinya, percakapan kita justru berlari ke sana. Saat kata “maaf” dengan tulus kuucapkan, aku hanya mengantarmu pada rasa sakit itu. Aku hanya bermaksud menyembuhkan lukamu dan melenyapkan rasa sakitku. Namun, pada akhirnya, kita terjebak pada rasa sakit berusia belasan tahun.

       Tapi kau bukan lagi kau yang dulu -seperti yang kau bilang di FB tadi malam-  manja, kekanak-kanakan, sensitif, egois, pemalu dan canggung. Sekarang kau cukup mengesankan. 

       “Bicara terlalu banyak ke masa lalu hanya mengembalikan kita pada luka yang seharusnya berlalu. Maaf, aku nggak bermaksud bikin kamu nggak enak hati.” Seharusnya akulah yang mengeluarkan kalimat itu.

        “Aku tidak bisa….”

        “Hah…kamu tidak bisa melupakan banyak hal. Aku cenderung tidak bisa mengingat banyak dan detailnya. Sejujurnya, aku tidak tahu kenapa tiba-tiba, tidak ada angin tidak ada hujan, kamu menghadangku di depan kelas dan bilang ‘aku mau bicara.’”

        “Kau ingat apa yang kukatakan waktu itu?”

        “Setiap kata yang keluar dari mulutmu. Nggak usah minta maaf lagi. Rasanya, sekarang aku tertarik untuk mengajukkan pertanyaan, ‘Mengapa?’”

       “Eee… karena… karena aku naksir seseorang yang duduk di belakangmu.”

        “Oh ya? Siapa?”

        “Dewi Asyiah.”

        “Mmmm… terus terang, aku nggak ingat yang mana orangnya. Tapi, aku pikir yang harus kamu lakukan saat itu adalah ‘menembak’nya, bukan berkata padaku dengan sinis- di depan kelas di antara lalu-lalang orang banyak, mengabaikan keberadaan Jasuus -mata-mata- yang jelas bertebaran dan seakan sengaja menantang Qismul Lughah (Bagian Bahasa). ‘Sorry, terus terang gue nggak benci ama lo. Tapi maaf  aja, gue nggak suka dan nggak punya perasaan apa-apa ama lo!’ Kamu nolak aku tanpa pernah kutahu kapan persisnya aku ‘nembak’ kamu.”

         “Ya… karena semua orang tahu, kau suka aku. Dan banyak orang berpikir kita sudah jadian. Aku harus menegaskan satu hal. Sebenarnya bukan padamu, tapi pada publik. Semacam strategi.”

         “Waw! Jenius!” Pujimu sarkatis, namun menatapku kagum.

        “Ya, pasti aku satu-satunya santri yang senang menjadi pelanggar bahasa. Apa yang kuucapkan siang itu, malam harinya sudah berada di tangan Qismul Lughoh- dalam bentuk tulisan tentu saja. Dan gosip cepat sekali menyebar. Maksudku tercapai. Sebuah pengumuman efektif bahwa aku dan kamu tidak punya hubungan istimewa. Aku memang sangat egois. Berusaha mencapai maksudku dengan mengorbankanmu. Aku hanya tidak memperhitungkan sebesar apa akibat yang akan kamu tanggung.”

          Ada semburat luka membayang di wajahmu sesaat, lalu senyummu melenyapkannya. 

         “Kekejaman yang mengesankan,” ujarmu  datar. Keningmu berkerut, kurasa kau memikirkan sesuatu. “Ingatanku memang payah. Tapi… aku suka kamu? Cinta kamu? Kenapa mereka pikir aku suka kamu?”

        “Ya…  karena memang benar.”

         “Benar? Sejak kapan?”

         “Kelas dua.”

         “Kita pernah jadian?”

         “Tidak.”  

         “Apa aku pernah bilang suka kamu? Cinta kamu?”

         “Tidak”

         “Kirim surat atau bilang ke beberapa orang?”

         “Tidak, kurasa tidak.”

         “Aku nggak pernah bilang, nggak kirim surat atau yang lainnya dan kamu juga berpikir aku suka sama kamu?”

         “Ya. Aku melihat, mendengar dan merasa.”

         “Dan dengan semua itu, kamu menyimpulkan? Sayangnya kesimpulanmu salah.”

         “Aku sudah menekan rasa malu sebab telah melakukan ‘kekejaman yang mengesankan’ meminjam istilahmu. Jangan mempermalukan aku seperti ini. Aku tidak salah. Aku lelaki dan kesimpulanku bukan hanya didukung separuh santri yang mengenal kita, tapi juga kakakmu.”

          “Kakakku?”

          “Ya, kakakmu.”

          “Kau, kakakku, dan separuh santri berpikir aku menyukaimu? Mencintaimu? Ya Allah… aku harus menertawakan semua ini. Kurasa, kamu juga. Bagaimana mungkin kalian bersepakat menyakini asumsi kalian adalah benar, sementara kebenaran yang sesungguhnya ada di hatiku? Dan, ya ampun… asumsi itu berkembang di sekelilingku sementara aku nggak tahu? Hallo… akulah yang memiliki hatiku. Dan hanya aku dan Tuhan yang mengetahui apa yang pernah ada di hatiku, bahkan belasan tahun lalu.” Lagi-lagi kau tersenyum. Sebenarnya kau sedang berusaha menahan tawa.

         “Kau menyangkal?” Kau membuatku merasa bodoh.

          “Oh tidak… aku hanya ingin mengatakan yang sebenarnya.” Sekarang kau benar-benar tertawa. 

         “Jika itu bertentangan dengan kami, kau jelas menyangkalnya. Dengar! Kau tidak perlu menyelamatkan harga dirimu kali ini. Karena harga dirimu tidak dalam keadaan membahayakan. Kuakui, aku suka kamu sejak kelas satu, Dewi Asyiah… aku berbelok karena kakakmu sempat mengancamku. Dan aku tidak cukup berani waktu itu. Kau tahu kita belum cukup dewasa. ABG cenderung mudah digertak.”

          “Kurasa, kamu yang seharusnya mendengarkan aku! Setelah ini kita bisa menertawakan kesalapahaman berusia remaja.” Ternyata kau punya selera humor yang menarik. 

         “Kebodohankulah yang memberi waktu untuknya bertumbuh. Sejujurnya, aku tidak tahu apa yang kamu lihat, kamu dengar atau yang kamu rasa. Aku juga tidak tahu, sikapku yang seperti apa yang membuat kamu, kakakku dan separuh santri yang mengenal kita bersepakat mendukung asumsimu. Yang aku ingat, aku mengingat yang ini dengan baik, bahwa hari pertama masuk kelas IIA, aku jatuh cinta pada teman sekelas kita yang baru. Dan itu jelas bukan kau. Perasaan cintaku terjaga baik sampai aku meninggalkan Ma’had. Tentu saja tidak ada yang tahu, karena aku terlalu pandai menyimpan hal itu di lubuk hatiku. Di keluargaku, jatuh cinta dan pacaran di usia belia, sangat tabu. Mungkin, itulah sebabnya kakakku melakukan tindakan protektif  terhadapku. Barangkali terlalu banyak yang kulupakan, tapi aku ingat dengan jelas, kau, tidak pernah membuatku jatuh cinta.” Tampaknya kau tidak menyadari baru saja mempermalukan aku, karena kau segera buka suara lagi.

        “Saat kau terancam tidak naik kelas karena munculnya laporan-laporan kenakalanmu -yang kau bilang fiktif- kau langsung berasumsi, itu ulahku (sebagai pembalasan dendamku). Maka, kau permalukan aku di kelas sebagai penyaluran amarahmu. Sementara yang aku tahu-dari ketua kelas- sebelum sidang malam itu yang bagiku berubah menjadi tragedi, adalah sebab kamu telah mengucapkan kata-kata kotor yang tidak pantas keluar dari mulut seorang santri, menuliskannya di papan tulis dan melontarkannya pada beberapa santriwati. Aku tidak pernah mendengarnya dari mulutmu langsung. Tapi itulah yang aku tahu. Dalam pembelaanmu, kau justru menghujat dan mempermalukanku.

       “Banyak hal yang tidak kamu pikirkan dengan jernih waktu itu. Coba pikir, aku tidak punya akses langsung ke buku absensi siswa. Dan kau pikir, sehebat apa aku dulu sampai bisa menggiring penilaian asaatidzd (dewan guru) terhadapmu ke arah yang negatif?” Kau bicara banyak -terlalu banyak- sampai semuanya menjadi kebenaran yang aneh bagiku, namun, jelas tak terbantah.

         “Ya. Kemarahan membutakanku.”

        “Kamu bermain dengan asumsimu sementara aku terlalu naïf dan bodoh, tak mampu menyimpulkan dengan cepat apa yang sebenarnya terjadi, dan lebih memilih pergi daripada berusaha menjernihkan kesalahpahaman yang menimbulkan masalah.” Ucapmu akhirnya menyimpulkan dengan benar dan jelas atas apa yang telah tarjadi.

         Kita sudah membicarakan separuh obrolan ini di telepon. Tapi belum mencapai titik yang sejelas ini. Kau tidak pernah mencintaiku. Dulu. Dan kurasa, sekarang kau juga sedang menunjukkan maksud yang sama. Kau baru saja mematahkan hatiku. 

         Padahal awalnya, bertemu denganmu, duduk berhadapan sedekat ini… membuat aku bertanya pada diriku sendiri, “pernahkah aku merasa sebahagia saat ini?” Jawabanku, “tidak.”

***

        Aku jatuh cinta padamu. Besarnya perasaan ini hampir tak dapat kutampung di alam rasaku. Kau mendominasi pikiranku, dan merajai hatiku, membuat semua wanita di dunia tampak tak cukup berarti di mataku. Dulu, aku pernah mencintaimu. Lalu kau menghiasi hari-hariku dalam ingatan-ingatan yang memerihkan hatiku. Setelah pertemuan itu, aku sungguh tak bisa menghentikan jemariku untuk meraih ponsel dan menghubungimu. Dan memintamu meluangkan waktu untuk kembali bertemu. Aku jatuh cinta, aku kasmaran, aku… aku menyadari satu hal. Kau, telah mengisi hari-hariku, mendominasi isi kepalaku-ingatanku selama lebih dari separuh umurku. Dan lihatlah sekarang. Kemana sebenarnya takdir akan membawa kita? Pertemuan setelah 15 tahun! Jangan sepelekan hal ini. Aku cenderung meyakini bahwa kita berjodoh. Dan ini adalah awal dari takdir kita! 

          Aku percaya kau tidak bermaksud untuk balas dendam. Jelas bukan kau yang membalikkan situasi belasan tahun lalu menjadi seperti ini. 

         “Please… jangan terlalu berharap. Aku punya hati yang sulit.” Betapapun halus dan bijak ucapanmu, keegoisanku melukai diriku sendiri. Jangan salahkan aku sebab cinta membuatku begitu egois menginginkanmu. Jangan juga hujat aku dengan sikapku yang menjadi cenderung posesif. Aku lelaki yang jatuh cinta pada wanita yang sama yang telah membuatku jatuh cinta di usia belia 18 tahun lalu. Dan sebab kebodohanku, aku kehilangan dirimu selama 15 tahun. Maka, jangan pernah minta aku melepaskanmu begitu saja- tanpa usaha keras untuk mendapatkanmu. Setidaknya, kau harus tahu, kalau pun takdir tidak berpihak padaku, hanya maut yang akan menghentikanku. Dan jangan bilang aku sakit jiwa. Kau tahu aku sangat waras. Yang harus lebih kau mengerti adalah bahwa aku sangat… sangat mencintaimu.

        “Kurasa… dalam hal tertentu,  kejadian belasan tahun lalu berulang,” suaramu di telepon terdengar ragu.

       “Apa maksudmu?”

       “Sorry. Aku… tidak mencintaimu. Dan… sejujurnya, juga tidak berharap jatuh cinta padamu.”

        “Kau baru saja menusukkan pedang ke dadaku. Tepat di dadaku!” Berhasil bicara merupakan perjuangan berat bagiku saat ini. Pasti, tidak ada wanita yang bisa melakukan hal yang lebih kejam dari yang baru saja kamu lakukan. 

        “Maaf?”

       “Hati… seorang lelaki yang mencintaimu sejak belasan tahun lalu dan bersama itu pula rasa sakit menyertai hatiku sebab telah melakukan kesalahan fatal. Dan dengan ringannya kau bilang….”

       “Aku pikir, lelaki lebih suka kejujuran meski itu pahit, daripada kebohongan- rasa manis yang semu.”

       “Kau bisa bicara lebih bijak, diplomatis, halus….”

         “Dan kamu yakin tidak akan memberi rasa sakit yang sama?” Sekali lagi, kau berhasil memperjelas satu hal. Kau, bukan lagi gadis 14 tahun yang canggung seperti dulu.

        “Apa yang berulang dari  belasan tahun lalu?”

        “Mm….”

        “Oh God! Apakah ini ada kaitannya dengan lelaki di restoran yang bersamamu waktu itu? Editormu? Kau… lagi-lagi, diam-diam mencintainya seperti dulu kau mencintai seseorang -teman sekelas kita?”

        “Mmm… ya. Dan mungkin kali ini aku tidak akan mengambil tindakan yang sama seperti dulu. Aku bukan lagi ABG pemalu.”

        Seharusnya aku bicara, tapi aku perlu waktu untuk mendapatkan energiku kembali  yang menguap begitu saja.

        “Apa aku masih punya harapan?” akhirnya sebuah tanya keluar dari mulutku meski terdengar lemah.

        “Setidaknya kau sudah beberapa langkah di depanku.”

        “Dan kau baru saja membuatnya tampak tak lagi ada ruang- tempat dimana langkahku berpijak.”

        “Ayolah… kau seorang lelaki. Banyak pilihan yang jauh lebih baik terpentang di hadapanmu.”

        “Tapi hatiku sudah menentukan pilihan.”

         “Dan hatimu, milikmu. Maka, kendalikan ia untuk mulai mengubah pilihannya.”

        “Berbaik hatilah padaku… beri aku sedikit harapan,” bisa kudengar dengan jelas suaraku yang memohon. 

        “Aku… tidak tahu apakah dia juga memiliki perasaan yang sama sepertiku.” Untuk pertamakali kurasakan kemurahan hatimu. 

        “Dan sekarang, tolong katakan apa yang harus aku lakukan untuk membuatmu jatuh cinta padaku?”

       “Aku tidak tahu. Tapi mungkin itulah PR mu.”

         “Dan kapan aku harus menyerahkan PR ku?”

        “Setelah kau menyelesaikannya tanpa kesalahan.”

        “Kau menjawab seperti seorang guru.”

       “Sebab kamu bertanya seperti seorang siswa.” Lagi, hadir keheningan yang menggigit.

        “Saat itu tiba, kau yakin masih sendiri?”

        “Tidak.” 

        “Sekali lagi, kau hujamkan pedang di dadaku.”

         “Kamu citrakan aku sebagai wanita yang kejam. It’s oke. Setidaknya aku tahu kamu masih hidup.”

         “Cintaku memberi nyawa.”   

         “Mungkin sudah waktunya menyerahkan segalanya kepada Yang di Atas.”

         “Kalimat bijak untuk menutup pembicaraan ini?”

        “Ada kerjaan yang harus kuselesaikan. Sorry.”

        Pembicaraan ini telah membuat seluruh tulang di tubuhku tak kurasakan keberadaan dan fungsinya. Aku hampir merasa tidak lebih dari setumpuk daging tak bernyawa. Tapi… Aku belum mati.  

         Tentu saja aku belum mati. Ruhku, belum terbang dari ragaku. Dan telingaku, masih dapat mendengar bunyi ponselku. Cintaku memberi nyawa. Smsmu… mengembalikan energi ke tubuhku.

       Pernah  dengar kisah seorang lelaki yang menghina dan mempermalukan  seorang wanita dengan kejam? Konon, ia  dikutuk mencintai wanita itu seumur hidupnya. Mungkin hal yang sama terjadi padamu.  Mungkin aku kutukan bagimu. Maka, carilah cara untuk membebaskan diri.

         Pedang kejujuran dan pengakuanmu tidak membunuhku, setidaknya belum. Kutuliskan sebuah kalimat pendek. Hanya agar kau mengerti, kalaupun  kau benar, tak sedikitpun hadir di hatiku keinginan untuk membebaskan diri. Kutukan ini memberiku nyawa dan energi kehidupan. Kuharap kau tidak sekadar mengerti bahwa… 

        Kau… adalah anugrah bagiku. 

Jakarta,     Desember  20…

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kata Umum dan Kata Khusus

Ilmu dan Hikmah

Selendang Sutra Bidadari